Paus Fransiskus Tutup Usia di Tengah Perjuangannya Membela Pengungsi dan Lingkungan

Medan, HarianBatakpos.com - Paus Fransiskus meninggal dunia pada Senin (21/4/2025) dalam usia 88 tahun. Kabar duka ini menjadi kehilangan besar bagi umat Katolik dan dunia, mengingat Paus Fransiskus dikenal sebagai pemimpin Gereja Katolik yang vokal dalam membela isu migran dan pengungsi, serta menyerukan aksi nyata dalam menangani krisis iklim.
Dalam sebulan terakhir, Paus Fransiskus berjuang melawan pneumonia ganda. Namun, penyakit tersebut akhirnya merenggut nyawanya. Meski telah tiada, perjuangan Paus Fransiskus membela hak-hak pengungsi dan menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan hidup akan terus dikenang.
Paus Fransiskus dikenal sebagai pemimpin Gereja Katolik Roma yang memiliki keberpihakan kuat pada kaum miskin, migran, dan pengungsi. Sejak terpilih pada 13 Maret 2013, pria bernama asli Jorge Mario Bergoglio ini langsung menandai komitmennya dengan kunjungan resmi pertamanya ke Lampedusa, Italia—simbol krisis migrasi di Laut Tengah.
Dalam perjalanan hidupnya, Paus Fransiskus tak pernah lepas dari isu kemanusiaan. Ia berkali-kali menyerukan kepada negara-negara Eropa untuk tidak menutup pelabuhan bagi para pengungsi yang mencari kehidupan lebih baik. Menurutnya, Laut Tengah tidak boleh dibiarkan menjadi lautan kematian, tetapi harus menjadi laboratorium perdamaian dunia.
Paus Fransiskus juga mengecam anggapan bahwa gelombang pengungsi adalah keadaan darurat bagi Eropa. Ia menyebut isu migrasi sebagai proses global yang melibatkan tiga benua dan harus dihadapi secara bijak. Seruan ini didasarkan pada data mengkhawatirkan, seperti lebih dari 2.500 pengungsi tewas di Laut Tengah sepanjang 2023, dan lebih dari 28.000 jiwa dalam satu dekade terakhir.
Kepedulian Paus Fransiskus terhadap migran diwujudkan pula melalui karya simbolis, seperti tongkat kepausan dari kayu bekas kapal migran dan peresmian patung “Angels Unaware” yang menggambarkan pengungsi dari berbagai latar belakang. Ia bahkan menyamakan kisah Maria dan Yusuf dengan perjalanan pengungsi masa kini.
Tak hanya menyuarakan isu pengungsi, Paus Fransiskus juga menjadi tokoh religius yang paling lantang berbicara soal krisis iklim. Melalui ensiklik “Laudato Si” (2015) dan “Laudate Deum” (2023), ia menyerukan perubahan global terhadap cara manusia memperlakukan alam. Ia menyebut bahwa dunia kini berada di ambang kehancuran akibat pemanasan global dan cuaca ekstrem yang makin parah.
Dalam dokumen-dokumen penting Gereja Katolik tersebut, Paus Fransiskus menyampaikan bahwa perubahan iklim merupakan krisis spiritual dan moral. Ia mengkritik paradigma teknokratis dan menyoroti lemahnya respon politik internasional terhadap isu lingkungan. Menurutnya, transisi energi harus dilakukan secara drastis, efisien, dan dengan komitmen bersama.
Di balik semangatnya yang kuat, Paus Fransiskus tumbuh dari keluarga imigran Italia sederhana di Argentina. Ia menjadi imam pada tahun 1969, kemudian naik jenjang menjadi Uskup, Kardinal, hingga akhirnya menjadi Paus. Moto “Miserando atque Eligendo” yang berarti “Karena belas kasih-Nya, Dia memanggilnya,” menggambarkan perjalanan religiusnya yang penuh makna.
Kehidupan dan kematian Paus Fransiskus menjadi simbol panggilan kemanusiaan, cinta akan ciptaan Tuhan, dan perjuangan tanpa lelah terhadap isu migrasi serta perubahan iklim. Meskipun ia telah tiada, semangat perjuangannya akan tetap hidup di hati umat manusia.
Komentar