Sepanjang September Harga Batu Bara Anjlok 3%

Jakarta-BP: Harga batu bara masih belum mampu bangkit di bulan September ini. Harga si batu hitam tercatat tidak mengalami perubahan di level US$114,80/metrik ton (MT) pada penutupan perdagangan hari Kamis (6/9/2018).
Sepanjang bulan September ini, harga batu bara nyaris anjlok 3%. Harga komoditas energi utama dunia ini kini sudah menyentuh titik terendahnya dalam hampir 2,5 bulan terakhir, atau sejak 29 Juli 2018.
Faktor pemberat bagi harga batu bara masih datang dari ekspektasi permintaan yang melambat dari China, importir batu bara terbesar di dunia. Belum lagi, investor juga dibuat cemas oleh perang dagang AS-China yang siap "meledak" kapan saja.
Meski demikian, sentimen positif datang dari masih seretnya pasokan batu bara domestik di Negeri Tirai Bambu. Penyebabnya adalah inspeksi lingkungan yang dilakukan pemerintah di sejumlah sentra produksi batu bara di China.
Pada hari Senin (3/9/2018), indeks manufaktur PMI China (versi Caixin/Markit) bulan Agustus 2018 diumumkan turun ke angka 50,6. Nilai itu merupakan yang terendah sejak Juni 2017. Penyebabnya adalah penjualan ekspor industri manufaktur Negeri Panda turun selama 5 bulan berturut-turut.
Data ini semakin mepertegas bahwa aktivitas ekonomi di China semakin melambat. Sebelumnya, pertumbuhan penjualan ritel China hanya naik sebesar 8,8% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan Juli 2018, turun dari 9% YoY pada bulan sebelumnya, serta naik lebih lambat dari ekspektasi pasar sebesar 9,1% YoY.
Kemudian, pertumbuhan produksi industri Negeri Panda bulan Juli juga hanya naik 6% YoY, lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 6,3% YoY.
Sementara itu, investasi aset tetap di China hanya naik 5,5% YoY pada periode Januari-Juli 2018, meleset dari ekspektasi pasar yang meramalkan pertumbuhan sebesar 6% YoY. Pertumbuhan investasi aset tetap tersebut bahkan masih berada di level terendah sejak 1996, mengutip data Reuters.
Saat aktivitas ekonomi di China melambat, pelaku pasar khawatir bahwa permintaan batu bara (sebagai sumber energi utama) akan melambat. Sentimen ini lantas menjadi pemberat utama bagi harga batu bara.
Tidak hanya itu, investor kini juga dibuat ketar-ketir oleh memanasnya perang dagang antara AS dan China. Tahapan dengar pendapat atas rencana pengenaan bea masuk baru atas impor produk China senilai US$ 200 miliar akan berakhir pada Kamis ini waktu AS. Kabarnya, Presiden AS Donald Trump akan segera mengeksekusi bea masuk ini segera setelah tahapan dengar pendapat selesai.
Sampai saat ini belum ada berita dari Gedung Putih maupun cuitan Donald Trump mengenai hal ini. Namun kemungkinan pengenaan bea masuk baru ini menjadi terbuka lebar setelah Kementerian Perdagangan AS melaporkan defisit perdagangan AS dengan China menyentuh rekor tertinggi, yaitu US$ 36,8 miliar pada bulan Juli, naik 10% YoY.
Apalagi, sepertinya Trump masih galak terhadap China. Jika sikap galak ini bertahan, maka bukan tidak mungkin dia akan segera mengeksekusi bea masuk tersebut.
"Kami akan melanjutkan pembicaraan dengan China. Namun untuk saat ini sepertinya belum ada kesepakatan. Oleh karena itu, kami akan memungut bea masuk dari China dengan potensi miliaran dolar," tegas Trump beberapa hari yang lalu, dikutip dari Reuters.
Jika perang dagang AS-China akhirnya memuncak, tentu saja pertumbuhan ekonomi global yang menjadi taruhannya. Saat aktivitas ekonomi dunia lesu, tentu permintaan energi akan ikut terpukul. Hal ini lantas membebani harga batu bara.
Meski demikian, kejatuhan harga batu bara tertahan oleh sentimen seretnya pasokan batu bara domestik di China. Produksi batu bara domestik China mengalami penurunan sebesar 2% YoY ke angka 281,5 juta MT pada bulan Juli 2018.
Penyebabnya adalah inspeksi lingkungan yang dilakukan oleh Pemerintah China pada sejumlah sentra produksi batu bara, yang dimulai pada bulan Juni 2018.
Akibatnya, impor batu bara Negeri Tirai Bambu pun masih tercatat cukup tinggi di bulan Juli 2018. Mengutip data Reuters, impor batu bara China bulan Juli naik 14% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke 29,01 juta ton, tertinggi dalam 4,5 tahun.
Untuk ke depannya, harga batu bara kemungkinan masih sulit untuk bisa rebound. Pasalnya, bulan September dan Oktober ini, permintaan batu bara di Negeri Panda diperkirakan akan menipis. Hal ini diindikasikan dari stok batu bara di 6 pembangkit listrik utama China yang tercatat meningkat 4% ke 15,2 juta ton per 31 Agustus. Peningkatan itu merupakan yang pertama kalinya dalam 4 pekan terakhir.
Sumber: CNBC (JP)
Komentar