BatakPos TV
Dunia
Beranda » Berita » Ketika Visa dan MasterCard Jadi Awal Donald Trump Murka ke RI

Ketika Visa dan MasterCard Jadi Awal Donald Trump Murka ke RI

Jakarta-BP: Indonesia telah memiliki Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Sebuah sistem yang terdiri atas Standard, Switching, dan Services.

Ketiga sistem dalam GPN tersebut dibangun melalui seperangkat aturan dan mekanisme untuk mengintegrasikan berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara nasional. Indonesia tak lagi tergantung dengan sistem ‘asing’ yang hampir menguasai setiap jaringan pembayaran.

Logo Visa dan MasterCard, akrab di setiap kartu yang berada di dompet para nasabah. Tak terkecuali kartu ATM, Debit, dan kartu Kredit.

Fakta Menarik! Justin Trudeau dan 6 Pemimpin Dunia Ini Punya Darah Indonesia

Jumlah kartu ATM, debit dan kredit yang hadir di masyarakat, ditunjang dengan semakin banyaknya bank domestik dan asing yang muncul di Indonesia. Setiap bank tersebut memiliki kelebihan tersendiri dari setiap kartu yang diterbitkan guna menarik minat masyarakat untuk mau memilikinya.

Dengan cara tersebut mau tidak mau masyarakat harus membuka rekening terlebih dahulu sebelum mendapatkan kartu yang diinginkan. Sebelum adanya GPN (kartu berlogo Garuda dengan switching nasional), setiap kartu memiliki biaya adminstrasi tersendiri dari setiap transaksi yang dilakukan.

Berikut beberapa biaya transaksi dari beberapa bank di Indonesia diolah dari berbagai sumber :

Biaya Transaksi Mandiri BCA BRI BNI
Tarif tarik tunai ATM Link/ATM Bersama/Prima 7500 7500 7500 7500
Transfer Antar Bank Via Jaringan Link/ATM Bersama/Prima 5000 6500 6500 6500
Pembayaran Tagihan PLN 3500 2500 3500 3000
Pembayaran Kartu Kredit Bank Lain 7500 gratis 7500 7500
Pembayaran tagihan Gas 2500 2500
Pembayaran PBB 2000

Dengan adanya GPN, segala biaya-biaya yang ada dapat ditekan (efisien) dibandingkan sebelumnya karena antar masing masing bank penyedia merchant akan saling terkoneksi.

Makanan Tertua di Dunia yang Masih Dikonsumsi Hingga Kini

Misalnya ketika tarik tunai, jika biasanya nasabah yang mengambil uang di ATM yang berbeda dengan kartu yang dimiliknya akan dikenakan biaya sekitar Rp 6.000-Rp 7.500. Namun, dengan kehadiran GPN, biaya tersebut dapat lebih murah.

Sementara jika ditinjau dari penggunaan merchant asing seperti Visa dan MasterCard, dimana hal yang disorot soal aliran dana yang berasal dari transaksi nasabah, melalui GPN setiap transasksi yang menggunakan merchant tersebut akan settle dalam negeri sehingga pemerintah dapat lebih mudah memantau potensi pajak yang bisa didapat.

Melihat berbagai kelebihan yang ditawarkan kebijakan GPN, maka hal ini seperti sudah menjadi kebutuhan agar masyarakat juga tidak terbebani dengan biaya-biaya yang terlalu tinggi akibat tidak teintegrasinya antar merchant/ATM yang ada.

Namun, hal lain yang perlu diperhatikan kesiapan infrastruktur. Mengingat GPN baru diluncurkan tahun lalu, maka BI perlu mendorong bank-bank untuk menyiapkan infrastruktur yang ada agar kebijakan ini berjalan dengan lancer.

4 Fakta Ilmuwan Dunia yang Sering Disalahpahami

Salah satu terobosan yang dilakukan dengan pemasangan logo pin garuda di setiap kartu yang terbit. Ini menandakan bahwa kartu tersebut telah terkoneksi serta mendapatkan keuntungan dari penerapan kebijakan GPN.

Awal Mula Trump Murka?

Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bercerita, usai mengadakan rakor soal GPN beberapa waktu lalu. Dari situ terungkap, karena GPN, program nasional tersebut menjadi salah satu alasan pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah komando Presiden Donald Trump mengkaji ulang produk-produk ekspor Indonesia ke negara itu yang masuk GSP atau generalized system of preferences.

GSP adalah fasilitas atau hak istimewa yang diberikan kepada produk-produk ekspor dari seluruh negara ke AS dan sudah diterapkan sejak 1974. Setidaknya ada 112 negara merdeka dan 17 teritori yang mendapatkan hak istimewa dengan jumlah produk yang diberikan sekitar 5.000-an.

Evaluasi Pemerintah AS terhadap Indonesia terkait hambatan di sektor asuransi, GPN, data processing center, serta intelectual property right.

“Untuk mengevaluasi mereka punya daftar permintaan kita kok dihambat-hambat di Indonesia. Ada yang mengenai asuransi, national payment gateway (Gerbang Pembayaran Nasional/GPN), ada mengenai data processing center, ada mengenai intelectual property rights, pertanian, nah tadi itu kita membahas 3 yang pertama itu untuk merumuskan kita tawarannya apa,” kata Darmin

Menurut Darmin pemerintah telah menyiapkan jurus menghadapi warning perang dagang AS karena merasa dihambat proses bisnis industri dari negara adidaya di Indonesia, cuma Darmin enggan mengungkapnya.

“Kita sudah punya kesimpulan tapi kan itu nggak bisa ngomongin, kalau di sana nggak mau, repot lagi kita, lebih baik kita jangan cerita-ceritakan dulu,” kata Darmin.

Visa dan MasterCard Sedot Dana Nasabah

Darmin Nasution mengungkapkan bagaimana cara perusahaan sistem pembayaran seperti Visa dan MasterCard menyedot dana dari nasabah di Indonesia, ketika melakukan transaksi.

Hal itu dia sebut telah lama menjadi persoalan di Bank Indonesia (BI), yang akhirnya memunculkan program Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) untuk menghindari cross-border transaction.

“Jadi persolan kita dari dulu dengan MasterCard dan Visa sebenarnya adalah kalau Anda gesek di sini, dia akan terus keluar diproses di sana,” jelas Darmin, Selasa (24/7/2018).

Lalu, apa ruginya keberadaan cross-border transaction itu? Darmin mengatakan, selama ini dana yang dibutuhkan atas transaksi itu. Namun, pihak bank yang menalangi sehingga konsumen tidak tahu-menahu.

“Anda bayar tanpa Anda tahu. Gimana ceritanya Anda nggak tahu? Karena yang bayar itu banknya dan banknya menutupkan biayanya ke Anda,” lanjut Darmin.

Menurut Darmin, dana yang dibutuhkan oleh bank cukup besar, yakni US$ 2 miliar setiap tahunnya. Hal tersebutlah yang menjadi keberatan Bank Indonesia.”Ya sebenarnya, dulu, waktu saya di BI keberatan. Kenapa [transaksi] harus keluar,” ujarnya.

Hal itu disebut Darmin menjadi pemicu fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) oleh AS ditinjau ulang. Selain itu, salah satu keberatan AS adalah pembatasan besaran saham perusahaan asing di perusahaan switching Indonesia. Yakni, terbatas hanya sampai 20%.

“Memang aturan BI gitu. Kalau asing masuk, boleh, tapi hanya 20% punya saham. Berarti harus join dengan investor yang lain. Nah itu dia marah itu,” tutur Damin. (CNBC/JP)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *